Setiap orang tentu memiliki setidaknya sebuah kenangan yang begitu dalam tersimpan dalam ingatan, baik itu kenangan indah dengan sahabat, kenangan sedih bersama keluarga, atau kenangan romantis dengan orang tercinta. Sebuah kenangan akan terasa maknanya bila kita sudah tak bersama lagi dengan orang yang ada di dalam kenangan karena itu, salah satu kenangan yang paling berkesan yang banyak dirasakan orang-orang adalah kenangan saat perpisahan. Nah, kumpulan pantun yang kami sajikan di artikel ini merupakan pantun yang bisa mengekspresikan perasaan Anda tatkala tengah rindu dengan kenangan indah masa Pantun Kenangan1. Pergi ke kota lewat tikungan Bunga rampai ditekan-tekan Kisah kita jadi kenangan Jangan sampai Lihat kolam tak ada ikan Datang petani gali genangan Selamat jalan aku ucapkan Semoga ini jadi Pantang menyerah raih kemenangan Hewan berbulu pergi ke selatan Memori indah jadi kenangan Simpan selalu dalam Burung terbang jenisnya pelikan Terbang rendah di atas bendungan Momen perpisahan memang menyedihkan Simpan saja sebagai Bawa sajadah ke Pulau Bintan Tempatnya ramai buat balapan Kenangan indah muncul di ingatan Terasa damai membawa Pohon kurma tumbuhnya rendah Berwarna coklat, terbelah-belah Kenangan lama yang paling indah Adalah saat masa Daun salam dibuat santan Santan disimpan dalam sepekan Malam malam teringat mantan Kenangan indah tak Ikan hiu dibawa boncengan I miss you, tapi hanya Bawa kereta menuju panti Henti sejenak di jalan merpati Cerita kita telah berganti Namun kenangan tetap di Ke Pondok Indah naik angkutan Badan jatuh, patahlah tulang Kenangan indah bersama mantan Semoga takkan pernah Kakak Arjuna bernama Bima Paling cepat badannya berkeringat Kita berpisah sudah lama Kenangan itu tak usah Bikin santan malam-malam Santan dimasak buat yang ngidam Kenangan mantan begitu kelam Harus lupakan biar tak Duduk berdua bersebelahan Jalan-jalan di atas jembatan Hancur cinta karena selingkuhan Lupakan kenangan bersama Ke Bosnia mencari kerang Malah berjumpa dengan beruang Agar dunia kembali riang Kenangan mantan harus Maling beraksi membuat resah Lompati pagar bercadar merah Hari ini kita berpisah Untuk raih masa depan Jalan-jalan ke Pasar Minggu Membeli gamis yang indah Ini tempat pertama bertemu Juga tempat kita Rumah persegi di perempatan Anak jelita membawa ikan Jumpa lagi di lain kesempatan Kenangan kita jangan Bunga selasih, bunga melati Kakak Yanti menggosok gigi Rasa sedih di dalam hati Semoga nanti jumpa Berhembus laju angin mengalir Tiupnya kencang ke pohon zaitun Sambutlah pesan salam terakhir Aku sampaikan melalui Sungguh manis buah rambutan Enak dimakan perlahan lahan Bila ada sebuah pertemuan Pasti datang sebuah Hujan turun di kota Palu Hilangkan semua keluh kesah Tahun tahun telah berlalu Kini saatnya kita Gadis cantik membawa belati Belati dibawa bersama peti Jangan suka bersedih hati Walau perpisahan sedang Sebelum titik tulislah koma Untung banyak namanya faedah Suka duka dilewati bersama Jadi kenangan teramat Bawa gergaji untuk diasah Gergaji kecil memotong pelepah Hari ini kita berpisah Moga rejeki selalu Dalam sejarah ada prasasti Prasasti tugu di zaman dinasti Kadang lisan ini menyakiti Maaf darimu yang aku Segelas madu dicampur kelapa Badan pun hangat sedap terasa Kesetiaanmu tak kan kulupa Kan teringat sepanjang Simpan ragi di bawah kain Jumpa lagi di masa yang Malam-malam ronda berjaga Dapat sepatu jangan dibawa Meskipun kita berpisah raga Tetap bersatu di dalam Ada zebra ekornya goyang Kulit kuda warnanya sama Jangan menangis duhai sayang Kita berpisah tidaklah Tak jua datang membuat gelisah Ketika kembali jadi tambah seru Secara raga memang kita berpisah Namun di hati tetap ada Bapak-bapak sedang bertamu Berbaju batik membawa duku Betapa banyak jasa-jasamu Selalu baik pada Bila ingin aku betah Sediakan saja buah delima Kini kita akan berpisah Kenangan indah saat Dari kota datang ke daerah Ibu petani bawa merpati Walau kita akan berpisah Aku di sini setia Kakak saya orangnya seni Adik saya selalu meniru Kebersamaan yang singkat ini Membuat sedih dan Putih-putih si bunga melati Melati disimpan di dalam lemari Janganlah dikau bersedih hati Meski perpisahan Jangan pergi terlalu lama Supaya khawatir selesai sudah Suka duka dilewati bersama Jadi kenangan yang amat Minum kopi hanya secangkir Nikmat diminum dengan suami Perpisahan bukanlah akhir Masih dapat Ke pasar membeli ketan Liburan ke kota Surabaya Perpisahan bukan hambatan Untuk mengejar Nafas sesak susah mendesah Lihat bangau di atas kerbau Sungguh berat rasanya berpisah Hatiku galau pikiran Ada gadis menangis pilu Ternyata hatinya sedang gelisah Sungguh cepat waktu berlalu Tak terasa akan Sungguh telaten Ibu Aisyah Menyiram bunga kembang sepatu Walau raga kita berpisah Hati kita tetap Anak muda cari kerjaan Agar tidak hidup susah Akan kurindu semua kenangan Suasana indah yang penuh Memang susah bermain gitar Apalagi di saat gerogi Kita berpisah hanya sebentar Pasti kelak bertemu Jalan-jalan ke kota Blitar Mencari bunga ke dataran rendah Perpisahan tinggal sebentar Jadikan ini kenangan Pergi bermain ke pulau Bangka Membaca buku sejarah kota Perpisahan ini sangat tak kusangka Aku terharu teteskan air Hujan-hujan bajunya basah Ada kilat menyambar kelapa Hari ini kita berpisah Moga cepat kembali Jalan-jalan di kota Padang Pergi bersama ke Berastagi Doakan saya berumur panjang Agar kita dapat bertemu Ke Brastagi beli sepatu Jualan pangan berupa tebu Jumpa lagi di lain waktu Simpan kenangan di dalam Ketumpahan bakso bajuku basah Ingin marah namun pada siapa Walau hati tak ingin berpisah Apalah daya sudah Tanjung Sauh di pulau Bintan Area berlabuh orang penyengat Berpisah jauh bercerai badan Ikatan sahabat tetap baca juga kumpulan pantun terbaik berikut iniPantun Cinta SejatiPantun Berbakti kepada Orang TuaKumpulan Pantun AsmaraPantun Pembuka PidatoKumpulan Pantun 2 BaitPantun Nembak Calon PacarKumpulan Pantun SedihPantun Warna BajuPantun Acara WebinarPantun Good Morning
Postedon 26/01/2021. DAFTAR FINAL PESERTA LOMBA CERPEN ROMANTIS 2021. TEMA: “MERAYAKAN CINTA”. Daftar peserta yang sudah memenuhi syarat dan ketentuan lomba sebagai berikut: 1) 1.860 hari, Vriis Ayuwisia KMCO 55. 2) 10 Tahun Demi Kita, Ester O. Warikar KMCO 29. 3) 1000 Detik Pelukan Dan Setangkai Anggrek Putih, Ratu Agung Ayu Cerpen Karangan Rizki NuramaliaKategori Cerpen Cinta Romantis Lolos moderasi pada 16 January 2021 Bagaimana rasanya ketika mantan kekasihmu tiba-tiba menghubungimu lagi? Apa yang akan kau lakukan? Karena itu terjadi padaku. Dua hari yang lalu mantan kekasihku tiba-tiba saja menghubungiku melalui akun Instagramku. Aku sempat tak mengenalinya, dia sangat berberbeda saat kami berpacaran dua tahun lalu. Ada banyak sekali rasa canggung diawal pembicaraan dalam chat room, bahkan aku sangat ragu untuk membalas pesannya. Berulang kali berpikir, kuketik, kuhapus dan kuketik kembali pesan balasanku padanya. Sempat kulihat beberapa postingan dirinya. Kupikir hidupnya sangat-sangat jauh lebih baik dari saat dirinya berkencan denganku. Bahkan kutahu kini profilnya sebagai professional photographer dan telah memiliki studio sendiri dengan reputasi yang bagus. Mengetahui hal itu membuatku jadi sangat ragu, pikiran seperti untuk apa mantan kekasihku kembali menghubungiku setelah dua tahun mengakhiri hubungan denganku? Apa dia ingin menunjukan dirinya jauh lebih baik setelah putus denganku? atau apa? Alasan keraguanku lainnya adalah karena perpisahan hari itu bukanlah perpisahan yang baik. Membuatku dilema untuk membalas pesannya atau tidak, dan bahkan lebih jauh lagi mantanku itu meminta bertemu denganku. Tapi memangnya ada perpisahan yang baik? Tangisan, kemarahan, kekecewaan bahkan sampai kebencian pasti selalu beriringan dengan yang namanya perpisahan suatu hubungan. Begitupun denganku dan Mas Rama. Rabu 1900 “Gadis” Sapanya saat pertama kali aku bertemu dengannya. Perasaan kembali pada hari dimana aku tengah bersama dengannya datang memenuhi hatiku. Bahkan suaranya masih sama saat dirinya memanggil namaku. Bodohnya aku akhirnya meng-iyakan permintaannya untuk bertemu. Dan disinilah aku duduk dengannyanya, di kafe yang dulu menjadi tempat favorit kencan kami. Tak ada yang berubah, semua masih sama disini, bahkan aku memilih tempat duduk pojok dimana aku dengan Mas Rama mengahabiskan waktu bersama di kafe ini. Dulu. Kikuk. Tak tahu harus bertingkah seperti apa. ”lama tak berjumpa” atau “apa kabar” haruskah menjadi sapaan pertama setelah dua tahun tak berjumpa. Akhirnya aku hanya melemparkan senyum padanya. Senyum yang kubuat semanis mungkin. Percayalah sosok mantan kekasihku yang dulu seperti telah hilang dari pria yang saat ini duduk di hadapanku. Wajahnya dan gayanya lebih maskulin menampilkan sosok pria dewasa. Aku bahkan mematung untuk sementara, wajahku dibuat tersipu olehnya. Kutarik napas dalam-dalam. Awal Desember malam itu, seperti terasa lebih hangat padahal cuaca sudah mulai dingin karena musim hujan. “bagaimana kabarmu?” Tanyanya, membuka pembicaraan. “aku baik” Singkat balasku. “kutebak kabarmu juga baik-baik saja. benar bukan?” Lanjutku. Mas Rama hanya tersenyum dan menyeruput kopinya. Tampan. Mataku awas memperhatikan dirinya, membuatku sadar, Ah aku pasti jatuh cinta pada dirinya dulu karena paras tampannya, yang bahkan sangat mempesona saat hanya meminum kopi seperti itu. “pasti keputusan kita berpisah hari itu benar-benar yang terbaik untuk hidupmu” Aku menunduk mengatakan itu, teringat saat-saat kata putus keluar dari mulutnya begitu saja. Sakit. “karena kupikir sepertinya hidupmu menjadi baik-baik saja bahkan jauh lebih baik setelah aku pergi dari hidupmu?” Lanjutku. Perkataanku itu membuat suasana pertemuan kami di kafe malam ini menjadi sangat, ehm tak enak. Ingatan menyakitkan antara aku dengan Mas Rama seperti diangkat kepermukaan. Wajahnya berubah menjadi sangat serius. “maaf” Ucapnya kemudian padaku. Ada perasaan aneh mendengar permintaan maafnya itu. “tak usah meminta maaf begitu padaku. Sepertinya itu memang jalan terbaik untuk kita saat itu” Kataku. Bertingkah seolah bukan apa-apa perpisahan hari itu. Padahal aku selalu menangis setiap hari saat mengingatnya. Mataku selalu bengkak hasil menangis semalaman. Melamun setiap saat, bertanya apa dan dimana kesalahanku hingga kata putus keluar begitu saja darinya. Itu masih tetap menjadi misteri bagiku. Alasan Mas Rama hari itu memutuskanku, aku masih tak tahu. Semuanya masih baik-baik saja saat itu, bahkan aku masih selalu mendapat pesan manis darinya, menghabiskan banyak waktu bersamanya, tak ada permasalahan ataupun pertengkaran apapun diantara aku dengan Mas Rama. bahkan hari itu adalah kencan sabtu malam kami. Tapi tiba-tiba saja, aku merasa menjadi tahu rasanya tersambar petir itu seperti apa. Ia berkata ingin putus denganku. “Mas benar-benar minta maaf padamu Gadis” Ucap maafnya lagi padaku. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa baru setelah dua tahun permintaan maaf itu kudengar. Sepertinya aku telah menjadikannya kekasih tanpa tahu dan mengenal sosoknya seperti apa. Karena aku tak mengerti dirinya, bahkan sikapnya saat ini yang tiba-tiba meminta bertemu dan meminta maaf padaku. Oh, rasa sakit dari hari-hari sulit setelah putus dengannyapun seperti datang kembali menusuk-nusuk hatiku. Menghindari tatapannya, tak ingin terlihat rapuh di hadapannya. “kau pasti merasa tak adil dengan semua keputusanku yang tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan kita dan pergi begitu saja” Ungkitnya, mengapa ia seolah mengorek kembali luka lama yang susah payah kuobati. Tahu pembicaraannya kemana, aku tak tahan jika harus mendengarnya lebih banyak lagi. Mataku sudah mulai berkaca, siap mengeluarkan air mata dari sana. Akhirnya aku bangun dari dudukku, terkaget Mas Rama melihatku yang tiba-tiba berdiri dan meraih tasku siap untuk pergi. “Maaf Mas sepertinya aku harus pergi, mungkin lain waktu kita sambung lagi” Kataku, sekaligus berpamitan padanya. Mengakhiri pertemuanku dengan Mas Rama, tak ingin aku berlama-lama dan tak ada yang tahu aku akan menagis satu detik kemudian jika aku tetap tinggal bersamanya. Mengambil langkah besar aku pergi menuju pintu keluar kafe. Masih kulihat bayangnya dari pantulan jendela kaca kafe Mas Rama yang terus menatapku seolah tidak menginginkan kepergianku. Bahkan sempat dirinya memanggil namaku, namun aku pura-pura saja tak mendengarnya, mengabaikannya dan berjalan lebih cepat. Ingin cepat aku menjauh darinya. Dalam langkahku ada rasa sesal dan juga perasaan seperti telah selamat. Namun akupun merasa seperti seorang pengecut yang melarikan diri begitu saja. Seharusnya kudengarkan ceritanya, karena mungkin saja bisa menjawab pertanyaanku selama ini, rasa penasaranku, alasan dirinya mengakhiri hubungan denganku. Namun semua itu terlalu menyakitkan untukku. Aku takut tak siap dan tak mampu menerima semua itu. Menyisakan aku yang kembali terluka seperti hari-hari setelah kepergiannya dua tahun lalu. Aku yang sangat kacau dibuatnya kala itu. Aku tak mau. Ting Notifikasi ponselku From Mas Rama Gadis, Mas minta maaf. Sekali lagi Mas meminta maaf padamu. Mas mengerti kamu pasti sangat marah hingga membeci Mas. Mas mengerti itu, tapi Mas harap bisa memperbaiki hubungan kita kembali. Aku mendengus tak percaya membaca pesan darinya. Apa katanya memperbaiki hubungan? Kita? Kupikir setelah berpisah darinya tak akan ada lagi kata “kita” antara aku dengannya. Kutatap langit malam dalam perjalanan pulang, perasaan tak menentu memenuhi hatiku. Bagaimana manusia itu bisa dengan mudahnya bersikap seperti itu. Setelah pergi dengan alasan yang tak pasti kini datang kembali sesuka hati. Bahkan hatiku masih belum sembuh sepenuhnya, atau bahkan memang tak pernah sembuh karenanya. Setiap teringat kata-katanya, momen kebersamaanku dengannya, dadaku selalu saja merasa sesak. Rasa sakitnya masih meninggalkan jejak disana. Entah apa inginku, setelah maaf yang kini akhirnya kudengar dari mulutnya. Hatiku masih saja tak bisa menerimanya. Seperti apa perasaanku saat ini, aku tak bisa menjelaskan ataupun memastikannya. Marah, tentu aku marah, sedih dan benci padanya, namun perasaan lebih membenci diri sendiri terasa lebih besar dan menguasai hatiku. Aku membenci diriku yang menjadi wanita bodoh yang tak bisa melupakannya, menangisi kepergiannya, tak bisa memperbaiki hatiku, atau bahkan memulai hari yang baru tanpa ingatanku saat bersamanya. Aku membenci diriku yang tak ingin aku mengakuinya bahwa aku masih mengaharapkannya. Senin 1700 Berdiri menatap salah satu lukisan, hanyut didalamnya. Meski aku tak tahu pasti apa makna dari lukisan itu, betah aku berlama-lama memandangnya. Klik Suara kamera memotret, aku berbalik kearahnya. Mataku terbelalak melihat siapa pemilik kamera itu. Oh haruskah aku bertemu dengannya setelah melarikan diri darinya minggu lalu. “cantik” Ucapnya singkat setelah memeriksa hasil jepretannya, yang kutahu akulah yang menjadi objek fotonya itu. “jangan mengambil fotoku tanpa izinku” Ucapku padanya, bukan sapa yang mengawali pertemuan kami sore ini. Mas Rama kemudian berjalan mendekat kearahku. Fokusku yang tadi hanya pada lukisan di depanku kini menjadi terpaku pada mantanku yang tiba-tiba hadir diacara pameran salah satu teman kuliahku. Bagaimana bisa Mas Rama berada disini juga *tanyaku dalam hati “kenapa? Kau bertanya mengapa aku bisa disini?” Tanyannya, membuatku terlihat seperti tertangkap basah. Bagaimana dirinya bisa mengetahui isi pikiranku. Kualihkan pandanganku darinya, mencari sesuatu sisi lain disebelah sana, entah apa itu yang ingin kulihat yang jelas aku tak ingin melihat Mas Rama yang baru saja berhasil membaca isi pikiranku. “Mas dapat undangan untuk memotret beberapa foto lukisan hari ini” Jelasnya tanpa kuminta, Mengapa kini Mas Rama setelah putus dariku bisa menjadi se-peka itu padaku, mengapa tidak dua tahun lalu saat kami berdua masih berkencan. Dulu kode-kodeku dulu tak ada satupun yang dimengertinya dan sekarang lihat dirinya. “aku tak bertanya” Balasku, berbohong. Mas Rama hanya membalas dengan senyum perkataanku. Tak ingin berlama-lama aku dengannya, kulihat saja jam di tanganku. Sudah masih belum pukul 6 sore, namun bertingkah seperti sudah memiliki rencana selanjutnya yang menantiku. Padahal hari ini pameran inilah satu-satunya acaraku. “aku pergi ya Mas, nikmati pamerannya” Ucapku, berbalik dan keluar ruangan pameran. Berusaha berjalan dengan tenang, tak ingin melakukan hal yang membuatku tampak bodoh seperti minggu lalu, aku sangat jelas ketara tengah melarikan diri darinya hari itu. Sampai di pintu keluar kutatap jalanan. Hujan. Hahh Mengapa harus hujan disaat seperti ini. Dan bodohnya aku tak membawa payung padahal jelas December ini musim hujan akan selalu datang meski tak dapat kupastikan kapan datangnya dalam 24 jam. Haruskah aku berlari hingga halte bus. Karena hujan sore ini seperti tak ada niatan untuk berhenti. Akhirnya kugunakan tas kecilku untuk menutupi kepalaku dan saat bersiap melangkah melewati hujan, tanganku dihentikan seseorang. Membuatku tertahan, dan tetap berada di posisi awal. “kebiasaan menerobos hujanmu itu tak pernah hilang rupanya” Ucap pria itu, mantanku, yang menghentikanku berlari melewati hujan. Mengingatkan kebiasaanku yang selalu menerobos hujan, kedinginan dan terkena demam kemudian. Tak menyahuti perkataannya, mataku fokus pada genggaman tangannya yang masih tak dilepaskannya dari tanganku. Mengerti arti tatapanku pada tangannya itu, segera Mas Rama melepaskan genggamannya. Berpura-pura bukan sesuatu yang besar, meski hatiku menjadi berdebar tak karuan karena sentuhannya yang sudah lama akhirnya bisa kurasakan lagi. Mas Rama kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Payung biru tua yang sedang ia buka, ada gantungan panda disana, yang kutahu dan jelas aku tahu siapa pemilik payung itu awalnya sebelum kini berada di tangannya. Payung lamaku dulu yang sempat kuberikan padanya, bagaimana dirinya masih memilikinya dan memakainya. “ayo” Ucapnya setelah payung itu berhasil dibukakannya. Aku hanya memalingkan wajahku darinya, kuharap Mas Rama mengerti bahwa aku jelas menolak tawarannya. Bagaimana bisa aku berpayungan bersama mantan kekasihku, lucu sekali. Hujan sore ini pasti akan menertawakanku. “cepat, kau bisa sakit kedinginan jika terus berdiri disitu” Lagi ajaknya padaku. Masih saja kuacuhkan dirinya. Tak lama kemudian saat kulihat lagi Mas Rama tengah berjalan memakai payung keluar area gedung. Meninggalkanku, sendiri. Wah, tak bisa kupercaya bagaimana dia bisa begitu acuh pada wanita, bisa-bisanya Mas Rama dengan tega meninggalkanku, sendiri menunggu dingin dan hujan yang entah kapan bisa reda. Tapi bukankah aku sendiri yang tadi bersikap jual mahal dengan mengacuhkan tawarannya ikut berpayungan dengannya. Kupukul kepalaku. Mercau tak jelas kemudian. Bodoh! Bagaimana kau bisa berharap mantan kekasihmu itu mau beridiri menunggu dan menemanimu atau benar-benar berpayungan ditengah hujan. Dasar Gadis bodoh! “Gadis, pegang ini” Tiba-tiba saja, sejak kapan Mas Rama kembali dan berada di sampingku kini. Memberikan payungnya padaku. Yang tanpa sadar pula tanganku meraih dan menerima payung itu. Masih memandanginya, Mas Rama yang tengah membuka jaket yang dikenakannya, tak kusangka apa yang selanjutnya ia lakukan padaku. Dipakaikannya jaket miliknya di tubuhku. “ayo. Hari akan semakin dingin” Ucapnya, aku yang masih mematung kehilangan otakku ulah mantan kekasihku. Mengambil payung yang tadi Mas Rama berikan padaku dan merangkulku untuk berjalan berada dalam satu payung bersamanya. Oh benar-benar. Bagaimana bisa? bagaimana aku membiarkan mantan kekasihku memperlakukanku sesuka hatinya seperti sekarang ini. Berkali-kali aku melirik wajah Mas Rama, ada segurat senyum di bibirnya. Apa dirinya menikmati berjalan, berpayungan bersama mantan kekasihnya ini. Aku pasti sudah gila. Cerpen Karangan Rizki Nuramalia Blog / Facebook Kiki Cerpen Aku Kembali Bersama Mantan Kekasihku Part 1 merupakan cerita pendek karangan Rizki Nuramalia, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Better Than You Part 1 Oleh Sahaq Alby Mendung sore ini begitu sendu, aku tenggelam dalam lamunan rintik hujan. Merindu seseorang yang sudah tak ada di sampingku, teringat memori dimana aku dan kamu berlari untuk mencari tempat Janjimu Oleh Tri Kisah cintaku, sebuah lagu dari band terkenal yang menceritakan kisah cinta yang begitu memilukan, seperti halnya kisah dalam hidupku. Pagi hari itu aku bangun seperti hari-hari biasa sebelumnya, disaat Catching Lyn Dwilogi Part 1 Oleh Yvonemelosa Aku menatap wanita yang saat ini duduk di hadapanku. Aura kecanggungan terasa pekat menyelimuti. Ia masih tampak sama sekaligus berbeda. Wajahnya masih tampak imut bagiku, seakan waktu berhenti disekitarnya. 7 Alasan untuk Hidup Part 1 Oleh Mella Amelia Akankah manusia takut saat hari kiamat tiba? mungkinkah mereka bisa berlari menghindari sang maut yang siap mengakhiri hidup indah mereka? Apakah mereka akan teriak, menangis, bahkan memohon diberi perpanjangan Kisah Baru Oleh Dian Islammiyati Ini merupakan gelas keempat berisi teh hangat yang ia pesan semenjak tiga jam yang lalu. Nina bahkan tidak peduli pada punggungnya yang terasa pegal ataupun perutnya yang sudah terasa “Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?” "Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?" Karenaingat pesan itulah, Kakek berusaha membantuku. Kakek punya dua anak perempuan. Karena sudah menikah, mereka hidup bersama keluarga sang suami. Kakek juga pernah diajak untuk ikut, tapi ia tidak mau sebab baginya rumah ini adalah tempat terindah. Banyak kenangan manis yang harus ia jaga. Sebisa mungkin aku berusaha membantu Kakek. Ilustrasi Pantun buat Mantan Terindah yang Menyentuh. Foto Unsplash/Harli terbaik tentang mantan selalu membekas di hati kita, seperti tertuang dalam pantun buat mantan terindah. Membahas mantan memang tidak ada habisnya, entah itu mantan terindah atau mantan terburuk. Sebenarnya mantan terburuk itu tidak ada. Yang ada adalah kita yang tidak bisa melepaskan seseorang yang sudah tidak bisa lagi membawa kita ke arah yang positif. Kita juga harus bisa meninggalkan seseorang yang sudah tidak bisa lagi jalan berdampingan dengan sudah memiliki pasangan baru, tempat-tempat yang dulu sering didatangi bersama mantan terindah seringkali masih ada dalam kenangan dan sulit dilupakan. 7 Pantun buat Mantan Terindah yang MenyentuhIlustrasi Pantun Buat Mantan Terindah yang Menyentuh. Foto Unsplash/Scott ini Inspirasi Kata memberikan beberapa pantun buat mantan terindah yang menyentuh hati dan bisa membuat mantan kamu kembali. Pantun ini dikutip dari buku Pantun Pelangi, IX Pasifik Angkatan 33 SMP Wiyata Dharma 202029.Berikut ini pantun-pantun buat mantan terindah1. Pantun 1Ketemu mantan di Kota Tua Teringat kenangan masa lalu Hari-hariku terasa hampa Tanpa kamu mengisi hatiku2. Pantun 2Pagi-pagi pergi bertamu Untuk bertemu tukang kuli Wahai mantan apa kabarmu Apakah kamu akan kembali?3. Pantun 3Siang-siang meramu jamu Sambil makan sebuah donat Aku masih menginginkanmu Meski telah berkhianat4. Pantun 4 Mata ini dipenuhi air mata Lara ini berhanyut-hanyut Tapi apalah nasib kita Karena dipisahkan oleh maut 5. Pantun 5Ke pasar jalan mundur Ke pasar bertemu tukang jamu Sangat susah untuk tidur Gara-gara keinget kamu6. Pantun 6Minum jus sambil berdiri Ambil uang dalam di saku Bila hatimu masih sendiri Berilah tempat untuk diriku7. Pantun 7Langit biru terlihat sendu Warna hijau, biru dan semu Jarak jauh tumbuhkan rindu Ingin selalu dekat denganmuNah, itu dia beberapa pantun untuk mantan terindah yang dapat kamu jadikan referensi. Baik sekadar untuk melepas rindu atau untuk mengajak mantan terindahmu kembali menjalin hubungan spesial. Semoga berhasil, ya. Iamenangis dengan histeris mengingat kenangan masa lalu yang manis bersama Reno. Ia berdoa agar Reno serta pasangannya diberikan kebahagiaan. Tentang Motivasi Cinta 9+ Cerita Inspiratif yang Bisa Memotivasi Hidup dan Bisa Membuka Hati Kata Kata Untuk Mantan, Sedih, Romantis, Terindah 123+ Ucapan Selamat Pagi Romantis, Lucu, Islami, Jika kau bertanya, adakah yang lebih purba dari kenangan? Maka akan kujawab dengan ceritaku ini. Semenjak perkelahian itu, aku dan ia tiada pernah saling menyapa. Hatiku serupa batu yang paling purba dan tak dapat dikerat dengan alat apa pun. Apalagi dihancurkan. Aku membencinya setengah mati. Bagaikan tiada lagi ungkapan tentang kebencian yang dapat mewakili. Jika bukan lantaran berebut remote televisi, kebencian itu tidak akan sebesar gunung batu yang maha barangkali. Sebuah kebencian yang hanya menjadi kenangan hingga kini. Sebuah kata yang kelak kuanggap lebih purba dari kehidupan itu sendiri. Ia adalah kakak lelakiku yang menyulut kebencian itu. Umurku enam belas waktu itu, sedang kakakku lebih tua enam tahun dari usiaku. Dan menonton televisi adalah kebiasaan yang kulakukan saban sore sembari menunggu magrib di ruang tamu. Entah lantaran apa, aku tak tahu. Tiba-tiba ia merebut remote televisi yang sedang kupegang dan menghantamkannya tepat mengenai jidatku. Aku terkejut dan sebentar kaku. Darah pun mengucur perlahan merembes ke ujung hidungku. Segar dan amis menyatu. Aku bereaksi segera, meski nyaliku sempat menciut ketika melihat matanya yang nyalang. Kuarahkan tinju kuat-kuat ke arahnya, namun ia semakin jalang. Kuarahkan tinju kedua, ia semakin garang. Ia menendang. Tak sanggup diriku lari tunggang-langgang. Semakin aku berontak, semakin kuat tendangannya menghadang. Aku lekang dan remote itu pun terberai tak kepalang. Barangkali juga bukan salahnya ketika menghajarku hingga babak-belur. Dari cerita ibu, sebelum pulang, kakak lelakiku memang sudah mabuk sehingga pandangannya kabur. Bau alkohol tercium dari mulutnya dan kedua tangannya bergetar seperti tersengat listrik. ”Mungkin teman-temannya usai mencekokinya dengan air iblis atau sejenis cukrik.” Aku mendengar ibu sesenggukan, menahan memar di kepalanya yang diciptakan kakak lelakiku itu, lantas mengompresnya dengan batu es. Ibu juga membersihkan wajahku yang penuh darah dan hampir kering. Tangannya menyeka luka bekas lemparan remote televisi dengan kapas yang telah dilumuri Revanol lantas menutup luka itu dengan kasa yang sebelumnya telah diolesi obat merah. Aku sesenggukan menahan sakit yang merajam. Kakakku tenang usai para tetangga berdatangan, lantas mendekap erat-erat tubuhnya yang kuat-liat bagai karang. Lalu peristiwa itu pun jadi perbincangan. Kenangan itu masih menggelayut dalam pikiranku, meski puluhan tahun berlalu. Pada sebuah pagi keseribu sembilan ratus lima puluh satu, pagi pertama usai perkelahian itu, aku masih mengenangnya dan tetap ingin meninjunya tepat mengenai jidatnya dan berluka seperti luka yang kumiliki di jidat. Luka yang telah bersih diseka ibu. Luka yang ia ulangi lagi pada ibu … Di hadapan pusaranya kini, kenangan itu masih purba. Kenangan dan Kesedihan Semestinya kau tak perlu bersedih hati akan hal itu. Kau tahu, bukankah kesedihan senantiasa mengiringi setiap perempuan? Kesedihan adalah ketika kau memandang foto saudara kandungmu tengah terbaring dengan infus dan oksigen membekap mulutnya. Foto yang dikirim temanmu melalui BlackBerry Messenger dan kau tak dapat menjenguknya lantaran ia dirawat di rumah sakit yang jauh dari jangkauanmu, di luar negeri, misalnya. Bukankah Hawa tercipta dari kesedihan Adam lantaran tinggal seorang diri di surga? Aku tentu tahu, bagaimana perasaanmu akan hal itu. Waktu itu memang tiada yang menduga langit akan turun hujan dan kilat saling bersahutan. Segerombolan burung terik yang terbang seolah tahu diri bahwa cuaca sedang tidak berkawan. Segalanya gelap, hitam, begitu pula dengan wajahmu. Di sana, kudapati kemuraman berabad-abad bagaikan tiada lagi cahaya datang menelusup pori-pori wajahmu. Kusangkakan, itulah yang bernama kesedihan. Aku berada di sana waktu itu. Kau memeluk lutut seperti menahan dingin udara yang membelenggu di kala malam. Tiada percakapan. Aku pun tak mau memulainya. Wajahmu tertekuk hingga hampir mencium tanah. Adakah yang mampu memahami kesedihanmu selain dirimu sendiri? Aku masih mengingat, beberapa tahun yang lewat, ketika burung-burung terik sepakat menunaikan ibadahnya di bumi timur, ketika senja masih menguning-langsat sebelum magrib, tatkala waktu belum sepenuhnya punah, kau juga menggigil tinggi sembari memelukku erat menghangatkan tubuhmu yang dingin-beku serupa balok es. Bukan lantaran hujan yang turun tiada henti sedari kemarin. Atau karena kutub utara yang pindah ke rumahmu. Kau takut pada cerita tentang Izah yang memeluk lututnya di haribaan pusara Sunan Ampel. Ia takut pada ibu, mengapa menghilang berbulan-bulan tanpa satu kabar jua? Mengapa pula ia melarikan diri dari studinya yang belum usai? Dan, mengapa ia merahasiakan kandungannya dan merawat bayi yang lahir tanpa ayah itu di makam sang wali? Bukankah kau juga ingin melihat keponakanmu yang mungil itu? Bukankah ia tak bersalah karena mengandung di luar nikah? Apakah Ela juga bersalah lantaran lahir di luar nikah tanpa pernah tahu wajah ayahnya? Kita tak pernah membicarakan dan mengingatnya beberapa tahun belakangan. Kupikir kita terlalu sibuk membicarakan burung terik yang mulai punah dan senja yang kian melegam. Dan memang aku sengaja menyibukkanmu dengan cerita-cerita fiksi karanganku. Dengan begitu, kau tak perlu lagi mengenal kesedihan. Asap Kenangan dan Luka Jika bukan lantaran tawa menyedihkan sepuluh tahun yang lalu, barangkali ia tidak akan kembali ke kampung yang membesarkannya. Juga kepada anaknya. Miftah hanya tahu, bahwa dengan kembali ke rumah, ia dapat menyembuhkan luka-luka yang tersayat di masa lalu. Saat di mana lelaki itu datang mengawininya kemudian meninggalkannya ketika umur kandungannya berumur delapan bulan. Dengan melihat sawah-sawah dipenuhi rumpun jagung yang berjajar rapi dan hijau perdu suket gajah, tentu tawa menyedihkan itu takkan muncul sedemikian rupa bagai penyakit yang muncul tiba-tiba; sehingga napasnya kembali bersih, paru-parunya juga bersih. Sebab belakangan ini ia sering menghabiskan dua bungkus rokok mild per hari. Alasannya, ia ingin kenangan itu terbang jauh ke langit bersama asap yang ia embuskan. Kau tentu hafal akan “Sajak Seonggok Jagung” milik paman Rendra. Sajak yang kau taksir lantaran ia melihat seonggok jagung yang tergeletak di kamar anak lelakinya. Kau lebih tahu isi sajak itu ketimbang Miftah yang hanya khidmat pada tanaman bertangkai tunggal dan berakar serabut itu dan hanya lulusan sekolah dasar. Saban pagi-pagi buta, Miftah berkeliling sawah di jalan setapak-beraspal itu. Di kiri-kanan diselingi pohon-pohon mangga yang buahnya sering dihabiskan codot sebelum tiba masaknya. Kau tahu codot? Makhluk itu serupa kelelawar berukuran lebih kecil dan menyerupai tikus piaraan dan berwarna hitam. Makhluk itu sering menyisakan mangga yang tak habis dimakannya di pekarangan rumah. Maka, itulah ritual yang dilakukan Miftah semenjak sepuluh tahun terakhir sembari tertawa-tawa seorang diri. Arkian, Miftah hanya tahu, bagaimana ibunya bersusah-payah menenangkan dirinya ketika di siang bolong ia bertelanjang bulat tanpa sebab-musabab. Ketika para tetangga tengah beristirahat dan anak-anak kecil bermain pasaran sepulang sekolah, Miftah berteriak-teriak. Kampung gaduh, dan gang di mana rumahnya berada lantas banjir manusia. Para tetangga itu turut menyaksikan dan berupaya menenangkannya, sembari menabahkan hati ibunya yang sedari kecil merawatnya seorang diri. Tanpa sanak keluarga. Dan suami. Siang itu adalah mula tahun-tahun sesudahnya yang penuh keindahan-sunyi dan tawa-menyedihkan tak berkesudahan. Kau di sana waktu itu. Menyaksikan ibumu yang dianggap gila. Kenangan dan Percakapan di Bawah Kemarau Bukanlah suatu kesalahan jika kau mencintai seseorang berdasarkan rupa bentuknya. Tak perlu menyembunyikan hal itu. Aku juga tahu kau mencintainya karena ia cantik atau tampan, karena ia berkulit putih atau langsat, karena ia semampai atau tinggi. Aku pun mengerti. Tak perlulah kita berdebat atau bahkan beradu fisik akan definisi ini. Kau hanya perlu mengerti bahwa kesalahan sebenarnya adalah tatkala kau meninggalkan kekasihmu usai kau mencintainya. Begitulah cerita ini dimulai. Jika bukan lantaran mengingat kau penuh seluruh[1], tentu kau telah lama berlari menggapai bintang di langit lantas menjatuhkannya di atas mataku. Kau tentu ingin aku buta sehingga tak kudapati lagi rona yang terpancar dari wajahmu, bukan? Kau tahu, mencintaimu adalah hal paling menyedihkan yang pernah kuingat. Aku mesti rela hilang bentuk, remuk[2]. Bertahun-tahun memikirkan siasat tak masuk akal supaya kau paham bahwa menggapai cinta tidaklah semudah meneropong bintang lantas memberinya nama belakangmu. Maka, tak usahlah kita mengingat senja yang sendu, langit yang perdu, angin yang merdu itu, bila pertemuan pertama itu hanya jadi kenangan yang membelenggu. Bangku hijau-lumut dan daun-daun sengon itu cukuplah menjadi saksi bisu. Tentu kau berpikiran sama denganku di atas langit masih ada langit, di atas keindahan masih ada keindahan, di atas cinta masih ada cinta. Setidaknya, isyarat itu yang membuat bumi senantiasa berevolusi sebagaimana mestinya dan berotasi sesuai porosnya, sehingga masing-masing menciptakan waktu dan musim, seperti kau dan aku, agar kau memahami bahwa hidup sendiri tak kenal kompromi. Dulu, kita pernah menduga kemarau seperti hujan air langit berguguran lalu menggenang di tanah kering nan lapang. Adakala ia mencium rerumputan, seraya membasuh debu yang menempel di pucuk-pucuknya. Ia lengket. Sembari menunggu wedang jahe yang kau masak, kau membayangkan berguyuran di bawah hujan. “Aku masih bermimpi menumpang pelangi.” Pelangi pun tak selalu hadir bakda hujan. Ia mungkin sekumpulan malaikat, atau bidadari yang hikmat memuji anugerah langit, atau barangkali pula hanya antologi warna yang tujuh. “Kau terlalu banyak berpikir.” Aku pun diam. “Apabila kemarau ini usai, aku ingin menumpang pelangi itu, menuju ke Negeri Senja[3].” Aku masih diam. Sebelumnya, kau selalu bertanya, adakah yang lebih tabah, lebih bijak, lebih arif, dari hujan bulan Juni[4]? Aku hanya bertanya kembali, dalam hati tentu saja, bukankah hujan tak pernah turun di bulan Juni jika kita mengingat pelajaran IPA di sekolah dasar? “Nyatanya, bagaimanapun, tak ada yang lebih bijak, lebih tabah, lebih arif, dari hujan bulan Juni, bukan?” katamu memungkasi. Aku masih tetap diam. Kenangan, Cinta, dan Suami Kita menyukai kesendirian dan kesunyian. Seringkali kita membutuhkan ruang privasi menjauhkan diri dari keramaian dan kepalsuan. Kau tahu, Tuhan menciptakan kita dengan sifat Kesendirian-Nya, dan Ia menyisipi kita dengan sifat Keilahian-Nya. Lantas benarkah kau menunggunya, atau benarkah kau berharap ia seumpama Jibril yang menyampaikan kabar gembira? Kau perlu kesendirian dan kesunyian supaya kau dapat bersemayam dalam cerita-cerita yang kau karang. “Tidak. Menurutku, banyak hal yang mesti dikorbankan demi hal lain yang menurut kita lebih baik.” “Termasuk suamimu?” “Tentu.” “Itu saja?” “Ya. Itu saja. Tidak lebih. Apalagi lebih dari itu.” “Omong kosong.” “Setidaknya kau tak perlu bergurau tentang cinta. Bukankah setiap orang berhak atas cinta? Tiadakah kau rasakan keindahan tentang cinta melebihi segala yang kau punyai? Lantas, adakah yang lebih indah yang pernah diciptakan-Nya selain cinta?” “Ya. Aku mencintaimu sebagaimana suamimu mencintaimu.” Ya. Aku memang terobsesi mencintaimu sebagaimana isi sajak Sapardi yang sering kau gumamkan usai kita bercinta mencintai angin, harus menjadi siut, mencintai air, harus menjadi ricik, mencintai gunung, harus menjadi terjal, mencintai api harus menjadi jilat. mencintai cakrawala harus menebas jarak, mencintai-Mu, harus menjadi aku. Senja telah melegam cukup lama. Beberapa cerita telah khatam kita baca. Burung-burung terik juga telah lama menuju timur, mengkhidmati petang itu. Tiada yang tahu berapa lama lagi kita mesti menyelesaikan percakapan ini. Dalam diam, kita khusuk mendengar azan magrib. Kau tahu, tiada panggilan yang lebih indah selain panggilan-Nya. Kenangan dan Sakit Hanya ada kau dan aku dalam cerita ini. Kunang-kunang berubah ganih dan waktu berhenti pada menit kedua belas. Kata-kata menjadi gelap dan makna pun kekal dalam pekat. Kau tahu, cinta memekarkan rembulan, sedang gemintang berubah menjadi planet baru. Kau tahu, itu adalah amsal tentang riwayatmu dan cerita-certia yang tak kunjung usai kutulis. Mengapakah kau berharap lebih dari itu sementara aku menginginkan tak lebih dari itu, padahal telah kutemukan kembali namamu[5] dalam cerita ini? Tidakkah kau ingat, tatkala kau sakit, kau akan ingat ketika sehat. Langit-langit kamarmu laksana hamparan penyesalan dan tubuhmu bak terperangkap dalam jaring laba-laba raksasa[6]. Pada senja yang menyengat, kau hanya bisa roboh di atas dipan. Kau tak dapat menyaksikan gemerlap jingga-keemasannya lantas menumpanginya ke Negeri Senja[7]. Dan, pada sepertiga malam terakhir, kau hanya bisa terjaga seraya mendapati diri seorang diri. Kau tak dapat menyampaikan doamu padahal pada waktu istimewa itu Tuhan turun ke bumi dan mengabulkan segala doamu. Lantas, adakah perilaku-perilaku sebelumnya yang membuat tubuhmu harus terpapar di antara sakratul-maut, atau, adakah mimpi-visimu yang belum terwujud manakala kau berada dalam situasi seperti itu? Kau menggeleng. Takut aku berdusta. “Sakit adalah saat di mana dosa-dosa dikelupas-Nya dengan sederhana[8].” Kau mencoba menebak arah pikiranku lantaran tiada bersepakat dengan perkataanku. “Sakit adalah istirah agar kau mengingat-Nya lebih dari sekadar kau mengingat dirimu.” “Adakah yang lebih purba dari kenangan?” katamu. “Ada,” kataku. “Sakit tersembunyi lebih purba dari kenangan.” “Benarkah?” “Kau sakit. Baiknya kau undur diri.” [*] [1] Kutipan sajak “Doa” karya Chairil Anwar. [3] Tentang Negeri Senja dapat dibaca pada cerpen “Tujuan Negeri Senja” karya Seno Gumira Ajidarma, Kompas, Minggu, 8 November 1988 dan “Senja dan Cinta yang Berdarah” Penerbit Buku Kompas, 2014 622-629. [4] Berdasarkan sajak “Hujan Bulan Juni” 1989; Editum, 2012 89 karya Sapardi Djoko Damono, yang penulis rangkum dan ambil dari masing-masing larik pertamanya. Selengkapnya tak ada yang lebih tabah / dari hujan bulan juni / dirahasiakannya rintik rindunya / kepada pohon berbunga itu // tak ada yang lebih bijak / dari hujan bulan juni / dihapusnya jejak-jejak kakinya / yang ragu-ragu di jalan itu // tak ada yang lebih arif / dari hujan bulan juni / dibiarkannya yang tak terucapkan / diserap akar pohon bunga itu //. [5] Kutipan sajak “Dalam Lipatan Kain” karya Esha Tegar Putra Motion Publishing, 2015 93 [6] Kalimat ini terisnpirasi dari cerpen “Sarelgaz’” karya Sungging Raga Indie Book Corner, 2014 71-76. [8] Sajak “Aku Ingin” 1989; Editum, 2012 90 karya Sapardi Djoko Damono, yang dimulai dengan larik Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. M Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang. Menggemari sastra dan kopi. Menulis cerpen dan puisi dan tersebar di beberapa media massa. Alumni PP Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang dan PBSI STKIP PGRI Jombang. Kini, berkhidmat di SMAN 1 Panarukan, Situbondo. Bisa ditemui di twitter mufirra_ dan facebook mfirdausrahmatullah *Sumber gambarKENANGAN TERINDAH BERSAMA AYAH Malam ini aku teringat kepada seseorang yang sangat berarti untukku, dia adalah Ayah. Aku sejak berumur 10 tahun sudah ditinggal oleh Ayah. Kepergian Ayah membuatku sedih sekali. Semua itu karena Ayah harus pergi selama-lamanya menghadap Sang Pencipta. Allah sudah sangat rindu kepada Ayah sehingga aku harus berpisah dengannya. Ayah meninggal disebabkan oleh serangan jantung secara tiba-tiba disaat sedang berwudhu untuk melaksanakan shalat Ashar. Sore hari, begitu adzan Ashar berbunyi memanggil semua orang untuk beribadah, Ayahku langsung pergi mengambil air untuk berwudhu. “Ayah, mau berwudhu?!” tanya Aku “Iya!” jawab Ayah “Jangan lama-lama ya!” “Oke sayang!” BRUG !!!!! dengan suara yang keras “Astagfirullah!!!! Bu.....tadi di dalam ada suara yang keras sekali, seperti ada yang jatuh!” ucap Aku dengan terkejut sekali “Iya, ibu juga kaget sekali!” jawab Ibu dengan memegang dada “Coba dibuka bu!” “Ayah......Ayah........!” panggil Ibu dengan mengetuk pintu “Sini aku buka saja!” Begitu pintu dibuka. “Astagfirullah!!!! Ayah...... Ayah bangun!” ucap Ibu dengan rasa terkejut “Ayah....... bangun!” ucap Aku sambil menangis “Nak, tolong panggilkan siapapun yang ada di luar!” suruh Ibu kepadaku “Baik bu...... Aku pun segera berlari memanggil para tetangga seperti yang ibu suruh. Hingga akhirnya mereka masuk dan langsung mengangkat Ayah memindahkannya ke dalam kamar. Aku tidak tau apa yang terjadi di dalam karena banyak sekali tetangga yang berdatangan. Sehingga datanglah Pak Ustadz yang baru selesai shalat Ashar. “Assalamu’alaikum!” salam Pak Ustadz “Wa’alaikumsalam. Masuk Pak Ustadz!” suruh Ibu dengan wajahnya yang penuh air mata. “Iya....!”jawab Pak Ustadz Aku penasaran sekali ingin melihat keadaan di dalam. Walaupun banyak tetangga berkumpul aku tetap memaksakan diri masuk ke dalam dengan berdesak-desak. Begitu kulihat ternyata Pak Ustadz sedang mengobati Ayah. Entah itu dibacakan do’a atau hal lainnya. Aku sebenarnya tidak menyangka akan seperti ini sehingga Aku memohon kepada Allah agar Ayah baik-baik saja. Beberapa menit kemudian, tibalah seorang dokter yang baru saja dihubungi oleh ibu lewat telepon. Ibu menyuruhku untuk menunggu di luar karena Aku masih di bawah umur. Aku kesal sekali ibu tidak mengizinkanku masuk ke dalam. Tetapi karena Aku penasaran sekali untuk mengetahui kondisi Ayah, Akupun melihat dari jendela kamar. Saat kulihat ternyata dokter sedang memegang tangan Ayah memeriksa denyut nadinya. Begitu dilepas kembali, dokter menggelengkan kepalanya dan ternyata Allah berkehendak lain. “Bu anda yang sabar ya!” ucap Dokter “Maksud dokter!” tanya Ibu “Maaf......suami anda sudah tidak bisa tertolong, karena denyut nadinya sudah tidak berjalan. Jadi sekali lagi saya minta maaf bu!” “Innalillahi Wainna Ilaihi Roji’un!” ucap Pak Ustadz “Ayah!!!! Ayah bangun......!!” ucap Ibu sambil menangis dan membangunkan Ayah Aku sungguh tidak menyangka bila Ayah akan pergi meninggalkan kami secepat ini. Akupun masuk membuka pintu untuk melihat Ayah. Dan begitu kulihat sendiri ternyata wajah Ayah pucat sekali, badannya terasa dingin, tangan pun keram. Sebenarnya Aku tidak siap untuk ditinggal oleh Ayah. Jika Ayah sudah pergi siapa yang akan menemaniku, mengajariku dan menghiburku. Air mata ibu yang terus mengalir membuatku ingin sekali menghiburnya, meski Aku sendiri sangat sedih. Ibu yang begitu sayang sekali kepada Ayah, segera menghubungi orang tuanya yaitu kakek dan nenek. Tidak lupa dengan saudara-saudara jauh. Sambil menunggu kedatangan mereka Pak Ustadz pun menyuruh ibu mempersiapkan tempat untuk memandikannya. Sedangkan Pak Ustadz mengumumkan di masjid dengan menggunakan pengeras suara yang biasa dipakai untuk adzan. Beberapa menit kemudian, tepatnya pukul akhirnya datanglah kakek, nenek dan saudara. Kakek dan nenek sedih sekali melihat Ayah terbaring tertutup kain sehingga nenek pun membukanya dan mencium kening Ayah. Setelah berkumpul semua Ayah pun segera dimandikan dan dikain kafankan. Alhamdulillah banyak orang yang berdatangan untuk melayat Ayah dengan mendo’akannya. Karena waktu sudah tidak memungkinkan, akhirnya Ayah akan dimakamkan esok hari. Ayah kenapa harus pergi secepat ini. Takut rasanya saat mengingat masa laluku bersamamu. Setiap ku melihatmu yang telah tertutup oleh kain kafan, air mata ini selalu tak mampu berbendung. Tangis ini karena kerinduanku padamu. Rindu akan kasih sayangmu. Rindu akan tutur katamu. Dan rindu akan semua yang ada pada dirimu. ****************** Keesokannya, tibalah waktu dimana saatnya mengantarkan Ayah ke pemakaman menggunakan keranda dengan diantar oleh banyak orang. Begitu sampai di tujuan, Aku tidak dapat menahan rasa sakit ini terutama ketika Ayah dimasukkan ke dalam tanah dan ditutup kembali oleh tanah sehingga yang Aku lihat terakhir kali hanyalah kayu bertuliskan nama Ayah yang ditancapkan di atas tanah dengan dipenuhi taburan bunga. Ayahku tersayang, walaupun Ayah sudah pergi selama-lamanya. Aku akan selalu mengirimkanmu do’a, agar Ayah tenang dan ditempatkan di tempat yang lebih baik, kasih Ayah atas segalanya yang sudah kau berikan untukku. Terima kasih juga Ayah untuk waktunya. Aku tidak akan melupakan semua kebaikan dan kenangan-kenangan terindah bersamamu. Selamat jalan Ayah, engkau akan selalu ada dihatiku.
JAKARTA– Kepala pelatih ganda campuran pelatnas PBSI, Richard Mainaky, mengungkapkan kenangan terindah bersama Tontowi Ahmad yang baru saja memutuskan gantung raket. Menurutnya, keberhasilan Tontowi meraih medali emas Olimpiade 2016 bersama Liliyana Natsir menjadi momen yang tak terlupakan. Richard sendiri merasa pencapaian yangCerpenkenangan terindah bersama mantan. Cerpen Cinta Sedih Cerpen Perpisahan Cerpen Remaja. Simak music video single terbaru kami Tuhan Tak Pernah Salah dalam link berikut. 10